SOB LOR “RUWATAN UMUM”

13010866 191645824561182 2443209651068119045 n

Dalam acara Temu Budaya di Kota Langgur, Kabupaten  Maluku Tenggara pada tanggal 22 Juni 2013, bertempat di Aula STIA Langgur, Profesor Aholiab Watloly tampil sebagai seorang nara sumber. Adapun makalah yang dibawakannya berjudul “Menggali Nilai Filosofi Ain Ni Ain”.

Fb img 1567611077861
Upacara Adat Kei di Makam Nen Dit Sakmas

Dengan indah dan kritis beliau menulis demikian : “Falsafah luhur Ain Ni Ain memijarkan sebuah samudera kearifan yang luas. Ia bukan hanya memiliki pijakan-pijakan pikiran yang besar dan mendasar, tetapi juga memancarluaskan sebuah arus evolusi peradaban yang menyinergikan segala perbedaan dalam sebuah semesta kehidupan yang indah untuk selalu memuliakan kemanusiaan dan kekeluargaan orang evav, dalam keharmonian hidup yang luas, sebagai sebuah martabat terindah dalam pentas luhur sejarah peradaban dunia”.

Dan masih banyak analisis kritis lainnya. Singkat cerita, dalam sesi tanya jawab, saya memberi apresiasi kepada Prof. Watloly dengan menyampaikan terima kasih, hormat, salut atas kajian ilmiah dan kritis diatas dengan catatan ; sayangnya profesor hanya mengkaji “Ain Ni Ain”, padahal Ain Ni Ain hanya satu baris dari sebuah bait panjang dari filosofi tersebut. Lengkapnya sebagai berikut :

“ Vuut Ain Mehe Ngifun, Manut Ain Mehe Tilur “ ( Seekor Ikan punya Telur, Seekor punya Telur  )

“ Teev Ain Mehe Siman “  ( Sebatang Tebuh Punya Tunas )

Mu’u Ain Mehe Tanan ( Sepotong Pisang Punya Tunas )

Er Ain Mehe Ween ( Sepotong Sagu punya tunas )

Ween Na Tafli, Faar Na Natyau ( Pelepah Pohon Sagu Tumpang Tindih )

Ta Hoor Minad, Tawai Larad ( Kawin Campur aliran darah )

Tubtub Nibur Ub ( Tidur seperti Ikan terbang )

Lalai lor Enmav  ( Menjalar seperti ubi jalar / petatas )

Ain Ulin Kid Kidin Ain ( Satu dengan yang lain adalah Belahan Jiwa )

Ain Ni Ain ( Saling Memiliki )

Ain ni rawai ain ( Ketergantungan Satu Dengan Yang Lain )

Fb img 1567642120975 1
Siksikar Adat Kei di Makam Nen Dit Sakmas

Kemudian saya lanjutkan, andaikan bait ini dikaji secara keseluruhan maka, analisis, kajian prof. akan lebih memukau, menembus sampai ke relung-relung sumsum. Langsung dijawab dengan jujur bahwa : sumber saya hanya mengatakan tentang Ain Ni Ain, sambil memintah maaf sekaligus meminta klarifikasi kepada seoranng Raja (maaf, tidak saya sebutkan namanya) yang juga hadir dalam forum tersebut. Dan Raja membenarkan bait panjang falsafah diatas.

Portal Berita Media ( www.tualnews.com ), menurunkan sebuah artikel dengan judul “ Perlu Tafsir Baru Filosofi Mat Nanlafik Wahan Soin ” ( Mati untuk menebus batas tanah ).

Artikel yang ditulis oleh Ahmad Matdoan,SH, seorang advokat yang tinggal di Jakarta ini menilai bahwa falasafah “Mat Nanlafik Wahan Soin” telah kehilangan  relevansinya untuk dijadikan sebagai pedoman hidup dalam kehidupan peradaban masyarakat modern seperti saat ini.

Selain itu falsafah diatas sebagai pedoman hidup secara substansi kontra produktif dengan falsafah hidup lainnya, yaitu : harta i bulir, umat i minan; manut ain mehe tilur, vuut ain mehe ngifun; laar nakmot naa rumud, (yang benar Atumud).

Fb img 1567639077945
Acara Adat Kei di Makam Nen Dit Sakmas

Usulan diatas disampaikan untuk menanggapi peristiwa pembunuhan sadis, biadab, tidak berperi kemanusiaan di Ohoi Faan. Ternyata Ahmad Matdoan dengan falsafah mat nanlafik wahan soin setali tiga uang dengan orang yang menjelasakan Ain Ni Ain kepada Prof. Watloly. Mereka mencomot satu baris dalam satu bait falsafah luhur teteen ub nus. Untuk lebih jelasnya saya tampilkan kosep asli falsafah dimaksud yakni:

“Mel yanan ro nmat ( Anak Adat pergi meninggal )

Mas tom ro nmam  ( Mas Adat hilang )

Nan bail, renad urad ( Untuk Menebus Sanak Saudara )

Tovlat ba’uran, nuhu tanat wahan soin ( Batas Tanah )

Falsafah diatas tidak boleh ditafsirkan secara harfiah dan dangkal, konsekwensinya fatal. Manusia berasal dari tanah dan akan kembali ke tanah. Mengacu pada pandangan ini baru pelajari secara utuh. Manusia lahir dari rahim ibu dan kembali ke rahim ibu pertiwi (tanah) yang dalam bahasa Kei disebut “ba na nel renan ivun”.

Bahkan falsafah luhur diatas mengatur sampai tulang belulang orang yang sudah meninggal puluhan tahun, bila kuburannya dibongkar dan tulang belulang dipindahkan untuk dikuburkan di kampung halaman. Untuk itu bagi generasi muda jangan terlalu cepat berargumentasi dengan sepotong kalimat.

Bahwa kita masyarakat Nuhu Evav punya pengalaman pahit yang lebih sadis, kejam, biadab dan tidak berperikemanusiaan dari peristiwa di Ohoi Faan baru-baru ini. Masih ingat kerusuhan bernuansa sara tahun 1999. Jumlah korban manusia, harta benda lebih banyak dibandingkan apa yang terjadi baru-baru ini. Mohon maaf, saya tidak bermaksud mengecilkan korban nyawa saudara/i kita empat orang di Ohoi Faan. Seharusnya saat itu saudara sampaikan penyesalan, kesedihan “masuhun” yang mendalam  bahwa “agam nan riik did lar in baba ni wir in soso”.

Bukan sat ini. Kita semua berdoa agar Tuhan, Hukum dan Leluhur ( Duad Hukum hov Nit fa yait) menjauhkan kita semua dari perbuatan keji yang mengancam kehidupan manusia dan kemanusiaannya di tanat Evav. Untuk itu saya sarankan kepada saudara Ahmad Matdoan untuk mendelete artikel tersebut. Hati-hatilah untuk menyampaikan pokok pirikan di tengah-tengah masyarakat sumbu pendek dalam situasi seperti saat ini.

Bagaimana menghadapai Nuhu Evav saat ini.

Ungkapan para leluhur : “dos vut naknir nuhu” sedang terjadi di bumi Larvul Ngabal dewasa ini. Dos vut jangan ditafsirkan secara harafiah bahwa ada sepuluh dosa, dosa apa saja dan siapa yang buat dosa dan seterusnya. Dos vut dalam pemahaman leluhur Evav adalah akumulasi dari berbagai permasalahan yang pernah terjadi, entah perorangan, marga dengan marga, permasalahan  kampung dengan kampung, wilayah dengan wilayah, Raja kembar dalam satu ratscap dan munculnya ratschap baru, konflik pejabat ohoi, pembunuhan, perkosaan, selingkuh dengan istri/suami orang, pencurian, perampasan  bahkan dana desa yang dikorupsipun termasuk didalamnya.

Fb img 1567639027683
Upacara Adat Kei di Hut Nen Dit Sakmas 07 September 2019

Ada yang sudah diselesaikan tuntas, namum belum tuntas, tapi ada yang belum diselesaikan sama sekali dan seterusnya. Dalam praktek penyelesaian suatu masalah di Nuhu Evav dinyatakan tuntas apabila sampai pada bagian penutup yaitu “swaruk wear” (diperciki dengan air) bagi masalah yang dipandang ringan sedangkan masalah berat diakhiri dengan ritual sait hawear yakni “Hawear namsait ni baraan nas or”. Sebagai contoh, misalnya si A dibacok oleh si B, korban luka masih hidup, pelaku (si B) diamankan pihak berwajib kemudian dipenjara sekian tahun sesuai aturan keputusan hukum positif. Kasus diatas selesai menurut hukum positif tapi belum tuntas menurut hukum adat karena belum ada penyelesaian tentang darah (si A) yang tumpah akibat pembacokan (tet famnga). Artinya banyak masalah yang harus dikaji ulang, karena dalam tradisi orang kei, suatu niat baik bila tidak dikerjakan dengan baik dan benar, walaupun sudah diselesaikan tapi tetap salah karena belum tuntas.

Dari mana kita mulai?

Jawabanya adalah “AKA” (Adat,  Kubni,  Agam) yaitu Adat, Pemerintah dan Agama.

Elemen utama adalah Pemangku Adat, Pemerintah dan Tokoh Agama serta tokoh masyarakat dan unsur lain yang dipandang perlu untuk berkumpul bersama guna “kiir kat” memikirkan, mendata, mengifentarisir masalah dan merencanakan proses penyelesaian Ritual Ruwatan “Sob Lor” untuk kedamaian, ketentraman, keharmonisan, keutuhan dan kerukunan Lor Evav.

Bagi pemangku adat.

Perlu disadari bahwa Jauh sebelum republik ini ada, Dewan Adat Evav sudah ada dengan nama asli Veve Evav dengan struktur lengkap. Lalu untuk kepentingan apa dibentuk dewan adat baru? Bila untuk kepentingan yang lebih luas dan besar karena Dewan Adat didanai APBD maka pertanyaannya adalah apakah Dewan Adat sudah  punya AKTE NOTARIS lengkap dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga? Sebagai contoh, aturan mana yang memberi mandat kepada Dewan Adat bersidang untuk menetapkan sdr. Mr. X,  sebagai ahli waris Kepala Desa Ohoi Marfun yang adalah wilayah adat Ur Siw,  sementara Raja Ub Ohoifak wilayah Lor Lim masih  kosong selama 40 tahun. Apakah Raja—raja Ur Siw tidak mampu menyelesaikan masalah intern mereka? Etiskah seorang raja melakukan interfensi ke wilayah adat “Utan Lor” lain.

Sidang adat

Bila melannggar norma maka keputusann tersebut cacat norma dan etika, ironisnya keputusan ini diterima untuk dijadikan dasar hukum untuk mengangkat seseorang menjadi kepala ohoi oleh Pemerintah Daerah Maluku Tenggara. Kemudian, apakah Siran Siryen dan Siran Ler Ohoilim sudah lenyap sehingga diadakan doa adat di bandra Ibra dan pelabuhan Fery Vatdek untuk menolak virus corona?  “Hukum adat ni doknain na’a”, maksudnya jangan mengabaikan tempat pijakan hukum adat. Tentu kita tidak ingin orang mengatakan siran  corona di bandara Ibra dan Vatdek! Marilah kita  membuka hati dan pikiran dengan wawasan fangnanan, kita renungkan dengan sungguh-sungguh “fikir, tibang loak fo tunan, ken maloan malhen”, demi kemajuan, kebaikan dan kedamaian Nuhu Evav.

Bagi Pemerintah Daerah.

Ketika kerusuhan bernuansa sara tahun 1999 berakhir dan dalam situasi yang mulai kondusif, saudara Tahir Hanubun dengan KBMT (Keluarga Besar Maluku Tenggara, Jakarta) datang dari Jakarta, bergabung dengan Pemerintah Daerah Maluku Tenggara, TNI, Polri, Tokoh Agama dan Tokoh Masyarakat lainnya, mengunjungi tiap desa yang ada di Yut Nuhu Roa dan pulau-pulau, tujuannya satu yakni kita pulihkan keadaan disamping rehabilitasi bagunan yang rusak dan ludes terbakar api.

Penulispun ikut dalam team kecil menghadap DirJen Perumahan Rakyat saat itu dan mendapat bantuan seribu  unit rumah untuk Maluku Tenggaara. Kini, 20 tahun kemudian saudara Tahir Hanubun jadi Bupati Maluku Tenggara. Lalu kenapa dalam 2 tahun pemerintahannya berjalan di Maluku Tenggara, terjadi peristiwa sadis sebagaimana kita ketahui bersama. Penulis tidak bermaksud mengatakan bahwa karena Tahir Hanubun jadi Bupati maka terjadi peristiwa sadis itu. Tidak! Sekali lagi tidak! Lalu kenapa? Justru disinilah pentingnya “Fikir, tibang loak, ren waus fo tunan, ken maloan malhen”. Untuk itu renungkanlah beberpa hal berikut ini:

Fb img 1567908466489
Bupati dan Wakil Bupati Malra pada peringatan Hut Nen Dit Sakmas 07 September 2019

1). Setelah dilantik jadi Bupati dan Wakil Bupati, Tahir Hanubun dan Petrus Beruatwarin melakukan sumpah adat di Siran Siryen kemudian ke Makam Nen Dit Sakmas setelah itu baru ke Ler Ohoilim. Niatnya baik tapi prosesnya salah, Siryen di Elar dan Ler Ohoilim adalah siran “tempat hukum”, sedangkan tempat Nen Dit di Wain adalah makam. Ternyata Team Adat tidak dapat membedakan siran dan makam. Bila diurutkam : Siran – Makam – Siran. Artinya “Nit nan fea” maksudnya belum mendapat restu leluhur.

Seharusnya setelah dari Elar kemudian ke Ler Ohoilim (siran) baru ke Wain (makam Nen Dit) atau sebaliknya ke Wain (makam Nen Dit) dulu baru ke Elar dan Ler Ohoilim (siran). Satu hal yang paling fatal adalah perempuan masuk ke dalam lokasi siran Siryen, apalagi ada oknum yang dalam keadaan datang bulan. “kot neroki aleman” kecil tapi fatal.

https://youtu.be/3Mc-8U6i-Fo
Video Doa Adat Kei Bupati Malra, M. Thaher Hanubun di Makam Nen Ditsakmas Wain

2). Sehari setelah acara  Doa Adat Kei Bupati Hanubun di Makam Nen Dit Sakmas www.youtube.com (https://youtu.be/3Mc-8U61-Fo) keluarga Esomar dari Wain datang membongkar WC/KM di rumah adat di lokasi makam Nen Dit Sakmas. Kenapa? Ada yang salah? Lokasi Makam Nen Dit Sakmas merupakan salah satu tempat makam keramat di Nuhu Evav. Yang boleh masuk di situ hanya dua Marga yakni Esomar dan Yaflean, itupun pintu masuknya sendiri-sendiri. Jadi kalau Pemerintah Daerah membangun WC/Kamar mandi di tempat itu maksudnya apa? Bukankah kalau orang buang hajat di halaman kantor bupati, satpol PP akan bertindak? Apapun alasannya “Fulik” pemali sehingga doa adat yang diucapkan hanya semacam sinetron adat secara “Live Show”.

Bagi pemuka agama

1). Ada kesan pemuka agama mengambil sikap mendua dalam beberapa hal, khususnya pada saat pesta demokrasi. Disatu sisi mereka menjadi pendoa bagi kosntestan yang meminta dukungan doa, dilain pihak secara sembunyi-sembunyi mereka ingin kontestan yang terpilih adalah orang yang seiman dengan dirinya. Kenyataan ini tidak dapat dipungkiri, untuk itu penulis membatasi diri untuk mengomentari rohaniwan katolik. Dimulai dari surat gembala dari pimpinan tertinggi wilayah yang kemudian ditafsirkan dan dilaksanakan di tingkat bawah. Memang tidak semua kaum klerus berada dalam satu komando, masalahnya ada satu dua oknum klerus yang lupa diri sehingga mengabaikan panggilan imamatnya untuk menjadi pekerja politik. Bahkan ada yang punya plat nomor mobil palsu banyak untuk digunakan setiap opersi malam hari. Mereka mengabaikan Kitab Hukum Kanonik Gereja Katolik kanon 285 dan 287. Kutipan  salah satunya sebagai berikut : Kan. 287 § 2 Janganlah mereka turut ambil bagian aktif dalam partai-partai politik dan dalam kepemimpinan serikat-serikat buruh, kecuali menurut penilaian otoritas gerejawi yang berwenang hal itu perlu untuk melindungi hak-hak Gereja atau memajukan kesejahteraan umum. Sehingga yang terjadi adalah gembalakanlah domba-dombaku kepadang rumput yang hijau diganti menjadi gembalakanlah domba-dombaku ke TPS (Tempat Pemungutan Suara) untuk pilih kandidat tertentu. Masyarakat perlu diingatkan bahwa pesta demokrasi berakhir masyarakat isap jari mereka isap permen. Sampai kapan baru oknum klerus ini berhenti bermain dan mempermaikan hukum kanonik?

Bagi masyarakat

Kita masyarakat umum sering kali mendengar atau menyaksikan suatu peristiwa, apapun bentuknya. Apa yang didengar kemudian diceritakan kembali ada kurang lebihnya. Menyaksikan suatu kejadian kemudian memberi kesaksian tidak jujur, bahkan mungkin saja menutup-nutupi.

Uraian diatas tidak bermaksud menuding seseorang, justru diutarakan agar kita melihat dengan kaca mata batin kita, sebagai pewaris hukum adat demi menjaga merawat melestarikan diktum teteen Evav tempo doeloe yakni  “Adat dunyai ni baletan Evav”, ( adat dunia dan peradaban orang Evav ). Akumulasi seluruh kesalahan yang ada lama kelamaan memunculkan aura panas yang membuat orang menjadi mudah tersinggung, cepat marah dan gelap mata sehingga bertindak diluar batas kewajaran “afa nhun atau afa nhota”. Untuk itu perlu ada “Sob Lor” Ruwatan umum.

Bila ritual adat “SOB LOR” Ruwatan Umum ini diterima dan dilaksanakan maka, hanya satu hal yang saya usulkan adalah doa adatnya dilakukan oleh “Turan Hukum atau Tul Hukum”. U hiluk im. Tetya.

Gerson Hanubun

Penulis tinggal di Langgur