Larvul Ngabal: Hukum Yang Mati

Img 20250604 wa0038

Larvul Ngabal: Hukum Yang Mati

Oleh : Ahmad Matdoan, S.H.

Hukum Adat Larvul Ngabal “pernah” menjadi penuntun utama kehidupan masyarakat Kei. Larvul Ngabal mengatur bagaimana manusia berelasi satu sama lain dalam hormat, malu, dan tanggung jawab.

Ia menjadi benteng moral, spiritual, dan sosial masyarakat Kei.

Kini, keberadaan hukum adat itu dipertanyakan: masihkah Larvul Ngabal hidup dalam praktik, ataukah ia telah mati secara sosial?
Salah empat dalam beleid prinsip hukum Larvul adalah “Lar nakmot na rumud”- darah tertutup dalam tubuh.

Ajaran ini melarang keras segala bentuk kekerasan terhadap tubuh manusia. Kekerasan dianggap penghinaan terhadap kemanusiaan, pelanggaran terhadap martabat, dan kejahatan terhadap keharmonisan sosial.

Dalam pandangan orang Kei, tubuh manusia adalah simbol kehormatan dan harga diri. Sayangnya, hari-hari ini, nilai ini semakin jauh dari kenyataan.

Tubuh Manusia yang Tak Lagi Dimuliakan

Dalam beberapa tahun terakhir, kita menyaksikan meningkatnya tindak kekerasan di Kepulauan Kei, mulai dari penganiayaan hingga pembunuhan yang brutal.

Kasus-kasus kekerasan tak hanya meningkat secara kuantitas, tetapi juga memperlihatkan penurunan kualitas moral dalam menyikapi nilai hidup.

Tubuh manusia – yang dulu dijunjung tinggi dalam falsafah adat – kini diperlakukan sewenang-wenang.

Kekerasan seperti menjadi tontonan biasa. Bahkan tak jarang, rekaman perkelahian atau tindakan anarkis tersebar di media sosial, dibagikan tanpa rasa malu, seolah itu hiburan.

Larvul Ngabal tampaknya tidak lagi mampu mengendalikan perilaku masyarakat. Hukum yang dulu disegani, kini diabaikan. Kekerasan menjadi sesuatu yang “murah”, dan “Lar nakmot na rumud” kehilangan makna.

Kekerasan sebagai Hiburan

Fenomena yang paling mengkhawatirkan adalah kekerasan dijadikan sebagai hiburan.

Kekerasan tidak lagi dianggap prilaku menyimpang. Ia dilihat sebagai ekspresi kemarahan, kemewahan, keberanian, kegagahan, dan menunjukan seorang laki-laki sejati bahkan dianggap sebagai Tindakan pembelaan harga diri.

Maka yang sedang terjadi bukan sekadar krisis sosial, tetapi krisis nilai.

Larvul Ngabal yang semula menjadi panduan moral kini terpinggirkan oleh sikap tempramental, ego dan emosi insedentil. Adat tidak lagi hadir sebagai pengendali konflik, melainkan hanya menjadi simbol dalam pesta adat, seremonial belaka.

Gagal Menjawab Tantangan Zaman

Jangan ada diantara kita yang menuding kehidupan modernitas saat ini menjadi penyebab matinya hukum adat.

Namun sesungguhnya, bukan modernitas yang membunuh Larvul Ngabal, melainkan keengganan masyarakat untuk merawat dan memodernisasi nilai-nilai luhur yang diwariskan leluhur.

Hukum adat yang hidup adalah hukum yang mampu beradaptasi dengan dinamika zaman tanpa kehilangan jati diri. Ia tidak boleh hanya mengandalkan mitos dan romantisme masa lalu, tapi harus menjadi alat pembentuk kesadaran dan kontrol sosial masa kini.

Dalam konteks ini, kegagalan Larvul Ngabal sebagai sistem pengendali sosial bukan karena ia usang, tetapi karena tidak dipertahankan dalam diri manusia Kei.

Menghidupkan Kembali Larvul Ngabal

Masyarakat Kei membutuhkan pembaruan dalam cara berpikir dan mengelola hukum adat.

Nilai-nilai seperti “larvul” (Darah Merah) dan “ngabal” (Tombak dari Bali) harus dikembalikan ke ruang publik, terutama dalam pendidikan, keluarga, dan kebijakan lokal.

Kepemimpinan adat juga harus mengalami transformasi. Para tetua adat tidak cukup hanya menjaga ritual, tetapi harus menjadi agen perubahan sosial, berani bicara lantang melawan kekerasan, dan menegakkan kembali norma “nakmot na rumud” secara konkret.

Selain itu, kolaborasi antara hukum adat dan hukum negara menjadi sangat penting.

Sekian banyak kasus kekerasan yang belum dapat diselesaikan dengan tuntas, baiknya diselesaikan agar menjadi efek jera bagi pelaku kekerasan. Di sinilah diperlukan sinergi yang sehat dan adil.

Penutup

Larvul Ngabal tidak akan “mati” selama ada kesadaran kolektif untuk menghidupkannya kembali.

Tapi jika kita terus membiarkannya dibungkam oleh kekerasan, maka sesungguhnya kita sedang menguburnya.

Kini saatnya kembali ke akar nilai yang diwariskan leluhur: menjunjung tinggi martabat manusia, memuliakan tubuh, dan menghapus kekerasan sebagai bagian dari kehidupan.

Larvul Ngabal hanya akan hidup jika masyarakat Kei benar-benar bersedia berubah-bukan hanya dalam kata, tapi juga dalam tindakan nyata.