Menambang di Tanah Adat, Ancaman Serius bagi Lingkungan dan Masyarakat Kei
Oleh: Ahmad Fadli
(Sekretaris Ikatan Senat Mahasiswa Ekonomi Indonesia (ISMEI) Wilayah XI Maluku-Papua)
Di tengah semangat pembangunan nasional yang digaungkan dari pusat ke daerah, kita menyaksikan satu kenyataan pahit yang terus berulang, logika ekonomi ekstraktif mengorbankan masyarakat adat dan lingkungan hidup.
Di Maluku Tenggara, tepatnya di Pulau Kei Besar, skenario ini sedang berlangsung.
Ancaman datang dari aktivitas eksplorasi tambang pasir dan batu oleh PT Batulicin Beton Asphalt (BBA), anak perusahaan dari Jhonlin Group milik konglomerat Haji Isam (Andi Syamsuddin Arsyad), di sekitaran wilayah pesisir dan perbukitan Kei Besar.
Jhonlin Group dengan rekam jejak panjangnya dalam dunia industri tambang dan energi, mulai dari Kalimantan Selatan hingga Papua.
Sehingga dengan hadirnya PT BBA di Kei Besar itu menjadi sinyal bahwa Maluku kini menjadi target ekspansi ekonomi ekstraktif yang selama ini terbukti lebih banyak membawa kerusakan dari pada kemakmuran.
Metode lama: Sumber Daya Alam nya Dikeruk, Rakyat Ditinggal begitu saja.
Pulau Kei Besar adalah pulau kecil dengan ekosistem yang rapuh, sekaligus ruang hidup utama bagi masyarakat adat menggantungkan hidup pada laut, hutan, dan tanah.
Sehingga aktivitas penambangan pasir dan batu ini justru bisa memberikan dampak yang sangat signifikan seperti :
-merusak struktur tanah dan mengganggu kehidupan satwa yang ada
-Kerusakan hutan dan daerah aliran sungai, yang selama ini menjadi sumber air bersih masyarakat.
-Pencemaran laut dan pesisir, yang menjadi tumpuan utama ekonomi nelayan.
-Abrasi pantai dan kehilangan tanah adat, yang mengancam eksistensi sosial-budaya masyarakat Kei.
Aktivitas tambang oleh BBA di Pulau Kei Besar itu merupakan bentuk perampasan ruang hidup masyarakat adat dan merupakan praktik ekonomi yang eksploitatif serta tidak inklusif.
Alih-alih mendorong kemandirian dan pemberdayaan Ekonomi Lokal Berbasis Lingkungan, penambangan ini justru memarjinalkan masyarakat dan menjauhkan Maluku dari cita-cita menjadi poros maritim yang berkelanjutan dan berkeadilan.
Pembangunan bukan hanya tentang menggali pasir atau meratakan bukit, melainkan memberdayakan masyarakat melalui ekonomi yang lestari dan bermartabat.
Kei Besar ini memiliki potensi besar baik dalam perikanan, pertanian organik, dan pariwisata berbasis budaya. Itu yang seharusnya dikembangkan, bukan industri yang menghancurkan tanah dan kehidupan.
Kita tidak boleh diam. Diam berarti menyetujui. Diam berarti menyerahkan masa depan Kei ke tangan mereka yang hanya tahu cara mengambil, bukan merawat.
Olehnya itu Ikatan Senat Mahasiswa Ekonomi Indonesia wilayah XI (Maluku-Papua) meminta;
– Pemerintah Kabupaten Maluku Tenggara dan Pemerintah Provinsi Maluku agar menghentikan segala bentuk aktivitas tambang PT BBA serta meninjau ulang seluruh perizinan yang telah dikeluarkan.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta Kementerian ESDM untuk melakukan audit lingkungan secara independen terhadap operasi tambang ini.
Menjalankan prinsip Free, Prior and Informed Consent (FPIC) dalam setiap proyek eksploitasi sumber daya alam.
Dari Pulau Kecil untuk Suara Besar
Ini bukan sekadar slogan,ia adalah gerakan.Pulau Kei Besar, bukanlah ruang kosong yang bisa diobral kepada korporasi besar.
Ia adalah rumah bagi masyarakat adat, ekosistem langka, dan tumpuan harapan generasi mendatang,maka hentikan eksploitasi, bangun kedaulatan,
“Tanah Kei itu bukan untuk ditambang, tetapi untuk dijaga. Alam Kei bukan untuk dieksploitasi, tetapi untuk diwariskan”.Pesan Ahmad Fadli (Sekretaris ISMEI Wilayah XI)