Tambang Batu Licin di Kei Besar, Warisan Krisis Ekologis Bagi Generasi Masa Depan
Oleh : Fahri Ngabalin
*Mahasiswa Evav*
Ketika eksploitasi sumber daya dilakukan tanpa pertimbangan ekologis dan etika sosial, maka yang ditinggalkan bukanlah kemakmuran, melainkan kerusakan yang diwariskan lintas generasi.
Inilah yang kini mengancam Kei Besar, tanah leluhur masyarakat adat Kei, yang dipaksa menjadi korban ambisi pertambangan PT Batu Licin (PT Batulicin Beton Asphalt).
Perusahaan ini datang dengan Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Nomor Induk Berusaha (NIB), tetapi tanpa dokumen AMDAL dan tanpa konsultasi publik.
Aktivitasnya tidak hanya melanggar tata ruang wilayah (RTRW) dan prinsip keadilan ekologis, tetapi juga mengabaikan hak-hak dasar masyarakat hukum adat.
Ini bukan sekadar kelalaian administratif, tapi cerminan kejahatan ekologis yang terstruktur.
Ekologi Politik dan Ketimpangan Struktural
Dari perspektif ekologi politik, sebagaimana diulas oleh Piers Blaikie dan Michael Watts, konflik lingkungan seperti ini adalah gejala dari ketimpangan kekuasaan struktural.
Negara dan korporasi, dua aktor dominan mengeksploitasi sumber daya alam di wilayah pinggiran demi keuntungan ekonomi, sembari meminggirkan komunitas lokal dari proses pengambilan keputusan.
Keadilan lingkungan (environmental justice) pun tercabik. Mereka yang paling sedikit berkontribusi terhadap kerusakan masyarakat adat Kei, justru menanggung dampak ekologis dan sosial paling berat.
Suara mereka dibungkam, ruang hidup mereka dirampas, dan tanah leluhur mereka dikoyak oleh mesin-mesin tambang.
Ilusi Pembangunan dan Ketergantungan
Dalam kaca mata teori ketergantungan, seperti disampaikan Andre Gunder Frank dan Cardoso, praktik tambang ini tak lebih dari bentuk kolonialisme baru.
Atas nama pembangunan, kekayaan alam Kei Besar ditarik ke pusat ekonomi, meninggalkan tanah miskin dan masyarakat tersingkir di belakang.
Pembangunan semacam ini tidak membawa kemandirian. Ia membangun ketergantungan baru, ketergantungan terhadap investor luar, terhadap janji-janji pekerjaan yang semu, terhadap birokrasi yang abai.
Tambang mungkin mengalirkan uang, tapi bukan keadilan.
Ekologi Mendalam dan Kearifan Lokal
Menurut ekologi mendalam (deep ecology) yang dicetuskan Arne Naess, alam bukanlah objek yang dapat dikendalikan sesuka hati manusia.
Alam adalah subjek yang memiliki nilai intrinsik, dan manusia adalah bagian dari jaring kehidupan tersebut.
Dalam nilai-nilai lokal Kei, prinsip “Ain Ni Ain” menjunjung tinggi keselarasan antara manusia dan alam.
Kerusakan alam berarti kerusakan hubungan spiritual, sosial, dan budaya. Tambang tidak hanya menggali batu, tetapi juga melubangi jantung identitas masyarakat Kei.
Keadilan Antar-Generasi: Apa Warisan Kita?
Edith Brown Weiss dalam gagasan intergenerational justice menekankan bahwa kita punya kewajiban moral dan legal untuk mewariskan lingkungan hidup yang sehat kepada generasi mendatang.
Bayangkan 20 tahun dari sekarang: sungai tak lagi jernih, hutan tak lagi teduh, tanah retak oleh longsor, laut tercemar, dan nelayan kehilangan sumber penghidupan. Apakah ini warisan yang ingin kita tinggalkan?
Teori ketergantungan (Dependency Theory) yang dikembangkan oleh André Gunder Frank dan Theotonio Dos Santos menyatakan bahwa negara-negara berkembang sering terjebak dalam model ekonomi ekstraktif, di mana kekayaan sumber daya diekspor keluar tanpa memperkuat kemandirian lokal.
Tambang di Kei Besar adalah contoh nyata: kekayaan mineral diangkut keluar, sementara desa-desa sekitar tetap tanpa air bersih, tanpa sekolah memadai, tanpa fasilitas kesehatan layak.
Ketimpangan ini menandai bentuk kolonialisme baru (neokolonialisme), di mana penindasan datang bukan dengan senjata, tapi dengan izin dan ekskavator.
Maka dari itu, kami menyerukan dengan tegas dan penuh tanggung jawab moral:
• Cabut segera IUP PT Batu Licin karena terbukti melanggar hukum dan prinsip ekologis.
• Lakukan audit lingkungan independen dengan melibatkan akademisi, organisasi masyarakat sipil, dan tokoh adat.
• Akui dan pulihkan hak masyarakat adat, termasuk melalui pemetaan wilayah adat secara partisipatif.
• Terapkan prinsip FPIC (Free, Prior, and Informed Consent) dalam semua aktivitas industri di wilayah adat.
• Moratorium pertambangan di kawasan rentan hingga tata kelola lingkungan dan sosial disempurnakan.
Kei Besar bukan ruang kosong. Ia adalah rumah sejarah, benteng adat, dan sumber hidup ribuan orang.
Kita harus memilih: diam dan ikut membiarkan kehancurannya, atau bersuara dan berdiri untuk menyelamatkan masa depan.
Kei Besar adalah ruang hidup, bukan komoditas. Dalam perspektif ekologi politik, pertambangan bukan sekadar konflik sumber daya, tetapi konflik nilai dan masa depan.
Di sinilah pilihan harus dibuat: antara menyelamatkan warisan sosial-ekologis kita atau menyerah pada logika pasar yang serakah.